Minggu, 26 April 2015

FAKTOR ELEKTRONIK YANG MENENTUKAN IKATAN DAN STRUKTUR

Ikatan dan struktur senyawa ditentukan oleh sifat elektronik seperti kekuatan atom-atom penyusun dalam menarik dan menolak elektron, orbital molekul yang diisi eletron valensi, dsb. Susunan geometris atom juga dipengaruhi oleh interaksi elektronik antar elektron non ikatan.  Di bawah ini beberapa konsep fundamental akan dipaparkan.

1. Energi Ionisasi

Energi ionisasi didefinisikan sebagai energi minimum yang diperlukan untuk mengeluarkan elektron dari atom dalam fasa gas (g), sebagaimana ditunjukkan dalam persamaan berikut.  
Energi ionisasi diungkapkan dalam satuan elektron volt (eV), 1 eV = 96.49 kJ/mol. Energi ionisasi pertama, yang mengeluarkan elektron terluar, merupakan energi ionisasi terendah, dan energi ionisasi ke-2 dan ke-3, yang mengionisasi lebih lanjut kation, meningkat dengan cepat. Entalpi ionisasi, yakni perubahan entalpi standar proses ionisasi dan digunakan dalam perhitungan termodinamika, adalah energi ionisasi yang ditambah dengan RT (R adalah tetapan gas 8.31451 J/Kmol dan T adalah temperatur, 2.479 kJ (0.026 eV), pada suhu kamar).  Perbedaan kedua parameter ini kecil.  Energi ionisasi pertama bervariasi secara periodik dengan nomor atom dalam tabel periodik, dengan unsur di kiri bawah tabel (cesium, Cs) memiliki energi ionisasi pertama yang terkecil dan unsur yang terkanan dan teratas (helium, He) adalah yang terbesar.  Dapat dipahami bahwa unsur alkali umumnya memiliki energi ionisasi terendah sebab unsur-unsur ini akan terstabilkan dengan pengeluaran satu elektron terluar untuk mencapai konfigurasi gas mulia.Unsur-unsur gas mulia memiliki struktur elektronik yang stabil, dan dengan demikian energi ionisasinya terbesar.  Walaupun energi ionisasi meningkat hampir secara monoton dari logam alkali sampai gas mulia, ada penurunan di beberapa tempat, seperti antara nitrogen N dan oksigen O, serta antara fosfor p  dan belerang S.

2. Muatan Inti Efektif

Karena muatan positif inti biasanya sedikit banyak dilawan oleh muatan negatif elektron dalam (di
bawah elektron valensi), muatan inti yang dirasakan oleh elektron valensi suatu atom dengan
nomor atom Z akan lebih kecil dari muatan inti, Ze.  Penurunan ini diungkapkan dengan  konstanta perisai σ, dan muatan inti netto disebut dengan muatan inti efektif, Zff
Muatan inti efektif bervariasi mengikuti variasi orbital dan jarak dari inti. 

3. Afinitas Elektron

Afinitas elektron adalah negatif entalpi penangkapan elektron oleh atom dalam fasa gas, sebagaimana ditunjukkan dalam persamaan berikut dan dilambangkan dengan A ( = -∆H).  Afinitas elektron dapat dianggap entalpi ionisasi anion.  Karena atom halogen mencapai konfigurasi elektron gas mulia bila satu elektron ditambahkan, afinitas elektron halogen bernilai besar. 

4. Ke-Elektronegativan

Ke-elektronegativan adalah salah satu parameter atom paling fundamental yang mengungkapkan secara numerik kecenderungan atom untuk menarik elektron dalam molekul. Kelektronegativan sangat bermanfaat untuk menjelaskan perbedaan dalam ikatan, struktur dan reaksi dari sudut pandang sifat atom.  Berbagai cara telah diajukan untuk menjelaskan dasar teori kekuatan tarikan elektron, dan berbagai studi masih aktif dilakukan untuk mencari nilai numerik dari ke-elektronegativan.  Skala Pauling, dikenalkan pertama sekali tahun 1932, masih merupakan skala yang paling sering digunakan, dan nilai-nilai yang didapatkan dengan cara lain dijustifikasi bila nilainya dekat dengan skala Pauling.  L. Pauling mendefinisikan ke-elektrogenativan sebagai besaran kuantitatif karakter ionik ikatan.  Awalnya persamaan berikut diusulkan untuk mendefinisikan karakter ionik ikatan antara A dan B. 
D adalah energi ikatan kovalen.  Namun, kemudian diamati ∆ tidak selalu positif, dan Pauling
memodifikasi definisinya dengan: 
dan meredefinisikan karakter ionik ikatan A-B.  Lebih lanjut, ke-elektronegativan χ didefinisikan 
dengan cara agar perbedaan ke-elektronegativam atom A dan B sebanding dengan akar kuadrat 
karakter ion.  Di sini, koefisien 0.208 ditentukan agar kelektronegativan H 2.1 bila energi ikatan
dinyatakan dalam satuan kkal/mol.
Karena ke-elektronegativan Pauling meningkat dengan kenaikan bilangan oksidasi atom, nilai-nilai
ini berhubungan dengan bilangan oksidasi tertinggi masing-masing unsur.  Kelektronegativan yang
dihitung dengan nilai-nilai energi ikatan yang terbaru diberikan dalam Tabel.
A. L. Allred dan E. G. Rochow mendefinisikan ke-elektronegativan sebagai medan listrik di permukaan atom Zeff/r^2. Mereka menambahkan konstanta untuk membuat keelektronegativan
mereka χ sedekat mungkin dengan nilai Pauling dengan menggunakan r adalah jari-jari ikatan kovalen atom.  
Nampak hasilnya adalah unsur-unsur dengan jari-jari kovalen yang kecil dan muatan inti efektif
yang besar memiliki ke-elektronegativan yang besar. R. Mulliken mendefinisikan keelektronegativan
χM sebagai rata-rata energi ionisasi I dan afinitas elektron A sebagai berikut. 
Karena energi ionisasi adalah energi eksitasi elektronik dari HOMO dan afinitas elektron adalah
energi penambahan elektron ke LUMO (lihat bagian 2.3 (e)), dalam definisi ini keelektronegativan dapat juga disebut rata-rata tingkat energi HOMO dan LUMO.  Unsur-unsur yang sukar diionisasi
dan mudah menarik elektron memiliki nilai ke-elektronegativan yang besar. Walaupun keelektronegativan didefinisikan dengan keadaan valensi dalam molekul dan memiliki dimensi
energi, hasil yang diperoleh dianggap bilangan tak berdimensi. 
Walaupun definisi Mulliken jelas sebab berhubungan langsung dengan orbital atom, biasanya nilai
ke-elektronegativan Pauling atau Allred-Rochow yang digunakan.  Karena nilai-nilai ini tidak
terlalu banyak berbeda, ke-elektronegativan Pauling biasanya cukup bila dipilih salah satu.  Nilai
ke-elektronegativan berubah tidak hanya dengan perubahan definisi, tetapi juga sangat dipengaruhi
oleh keadaan ikatan atom, dan nilai-nilai itu harus digunakan dengan hati-hati.  Keelektronegativan atom-atom penyusun adalah besaran yang sangat penting untuk menjelaskan ikatan, struktur dan reaksi senyawa.  Oleh karena itu, kimiawan teori selalu berusaha untuk memperluas dasar parameter ini. 

Sabtu, 25 April 2015

GAS

1. SIFAT-SIFAT EMPIRIC GAS

1.1 Hukum Boyle dan Hukum Charles

Keadaan suatu gas ditentukan oleh 4 sifat  (besaran) yaitu :  Massa,  volume,  temperatur (suhu) dan tekanan. Persaman keadaan dari suatu sistem adalah persamaan matematik yang menyatakan hubungan antara nilai – nilai keempat sifat ini.  Hanya diperlukan 3 besaran untuk menentukan keadaan sistem,  sedang besaran yang keempat dapat dihitung (tergantung) pada ketiga sifat ini.
Robert Boyle (1662) dalam percobaan-percobannya memperoleh  kesimpulan  bahwa  pada temperatur  konstan volume berbanding terbalik dengan tekanan. Kemudian  Charles  menunjukkan bahwa  konstanta  C  adalah  fungsi temperatur. 
Gay  Lussac  dalam  percobaan-percobannya  mendapatkan  bahwa  volume  dari sejumlah massa tertentu gas pada tekanan konstan akan merupakan fungsi linier dari temperatur. 
Dari  fungsi  linear  tersebut  dapat  disimpulkan  bahwa  b  adalah  slope  pada  kurva dengan absis t dan ordinat V, sedang a adalah intersepnya,  jadi merupakan volume pada nol, Vo, sehingga secara matematika boles ditulis : 
Koefisien Ekspansi Termal (ao)
Koefisien  ekspansi  termal  adalah  bertambahnya  volume  relatif  (terhadap volume awal) akibat pertambahan temperatur pada tekanan tetap. Jadi : 
Kombinasi persamaan 5 dan 6 menghasilkan :
Untuk gas ideal harga α = 1/T, jadi :
αo =  1/T  = 1/273,15

karena T = 273,15 + t, maka persamaan 7 dapat ditulis : 

1.2 Gas Ideal

Robert  Boyle  pada  tahun  1662 menyelidiki  hubungan antara  tekanan  dan  volume gas pada perubahan keadaan dengan masa dan suhu sistem gas yang tetap, yang menunjukkan bahwa tekanan berbanding terbalik dengan volume.  Percobaan Gay Lussac menunjukkan bahwa volume gas adalah fungsi  dari  suhu pada setiap perubahan dimana tekanan dan massa dijaga tetap. 
           Relasi itu dapat dinyatakan ;
dengan Co adalah C pada temperatur 0 C. Dinyatakan bahwa hukum Boyle berlaku untuk temperatur dan massa tertentu. Untuk Co temperatur sudah tertentu, yaitu 0 C, dengan demikian Co hanya ditentukan oleh massa saja atau Co sebanding dengan massa gas dan ditulis 
dengan B adalah konstanta sedang massa gas. Jadi persamaan 11 dapat ditulis sebagai berikut :
Jika dipilih kondisi standar yaitu m = M kg/mol yaitu massa molar, P = 1 Pa dan T = 273,15 K, ternyata volumenya 0,00224 m3 /mol, maka persamaan 13 dapat ditulis :
Substitusi 14 ke dalam 13, menghasilkan : 

Persamaan 15 tersebut biasa disebut persamaan gas ideal. Jika n = 1 mol, persamaan gas ideal ditulis :
Dengan   V  adalah volume molar gas yaitu volume dari 1 mol gas. 

1.3 Distribusi Barometrik

Dalam pembicaraan sebelum ini, kita berasumsi bahwa jika gas ideal berada  dalam sebuah bejana, maka tekanan gas di dalam bejalana tersebut adalah sama di bagian manapun pada bejana itu. Anggapan ini benar,  jika berada di daerah yang bebas medan. Tetapi di bawah pengaruh medan, maka molekul – molekul lebih rapat di bagian bawah daripada di bagian atas.  Akibatnya tekanan gas di bagian bawah tentu lebih besar daripada di bagian atas. Hal seperti ini disebut distribusi barometrik.
Kita bayangkan sebuah kolom berbentuk silinder dengan luas alasnya adalah A,  berada pada temperatur yang merata yaitu T berada di bawah pengaruh medan gravitasi  dengan  percepatan gravitasi  sebesar  g.  koordinat  vertikal  z  diukur  dari bagian bawah sedemikian rupa sehingga z pada dasar kolom adalah (gambar). 
Tekanan di sembarang kedudukan z, ditentukan oleh massa fluida yang dihitung dari z ke atas. Jika massa itu adalah m, maka gaya yang ditimbulkan oleh fluida bermassa m itu, adalah mg. Dengan demikian tekanan pada kedudukan z adalah : 
Sekarang akan kita lihat tekanan pada kedudukan z + dz.  Jika fluida di hitung dari kedudukan ini ke atas adalah m’ dan tekanannya disebut p’, maka : 
Selisih kedua persamaan di atas : 
Jika massa jenis fluida adalah ρ maka m’ = ρ V’ dengan V’ adalah volume dari z + dz ke atas sedang m = ρ V dengan adalah volume dari z ke atas, sehingga :
V’/A adalah tinggi dari z + dz ke atas atau h – (z + dz) sedang V/A adalah tinggi dari 
z ke atas atau h – z, sehingga : 
Selanjutnya perlu diingat, bahwa :
jika diintegralkan dari 0 sampai z diperoleh :

dengan asumsi bahwa fluida mengkuti pola gas ideal, maka persamaan itu juga dapat dinyatakan dalam konsentrasi yaitu : 
Karena konsentrasi  berbanding lurus dengan jumlah partikel,  maka persamaan itu juga boleh dinyatakan dalam bentuk :
Persamaan  31,  dapat  dikembangkan  untuk  menghitung  jumlah  partikel  di seluruh ruangan. Karena n konstan maka hanya z yang tidak konstan pada ruas kanan persamaan 31, sehingga jika diturunkan : 
Jika diintegralkan keseluruhan ruangan :
dengan c adalah tetapan integrasi. Harga n2+ c adalah harga jumlah partikel diseluruh
ruangan atau n, sehingga : 
dengan n = jumlah molekul dari dasar sampai  ketinggian z.  jika harga n ini dibagi dengan  volume dari  dasar  sampai  ketinggian  z,  maka  kita  memperoleh  harga konsentrasi rata – rata partikel.
Jika  persamaan  36  di  atas  digunakan  untuk  menghitung  jumlah  seluruh partikel gas di atmosfer, maka dimasukkan harga z tak terhingga sehingga : 
dengan n adalah jumlah seluruh partikel  gas di atmosfer n0 jumlah partikel  gas dipermukaan  bumi. Sudah  barang  tentu  hitungan  ini  menggunakan  asumsi  bahwa seluruh atmosfer mempunyai temperatur yang seragam yaitu T. Perlu diketahui bahwa persamaan – persamaan distribusi di atas, tidak hanya berlaku  untuk  gas,  tetapi  juga  berlaku  untuk  partikel  koloid  misalnya  suspensi
senyawa polimer dalam suatu medium cair.

KIMIA ITU ASIK COY
INSYAALLAH BERMANFAAT

MUH. FAJRI RAMADHAN

SIFAT-SIFAT MOLEKUL

1. Panjang Ikatan

Tergantung pada ukuran atom order ikatan (tunggal rangkap duaatom, order ikatan (tunggal, rangkap dua, rangkap tiga), dan hibridisasi.
Jadi, panjang ikatan tunggal > rangkap dua > rangkap tiga.
Jadi, panjang ikatan sedikit lebih pendek
dengan meningkatnya karakter s pada C.

2. Kekuatan Ikatan dan Energi Dissosiasi Molekul

Energi yang dibutuhkan untuk memutus ikatan secara homolitik menjadi radikal tak bermuatan.
Kekuatan ikatan (bond strength   bond energy = E): energi suatu jenis ikatan → rata‐rata data pengukuran berbagai jenis molekul pengukuran berbagai jenis molekul. Contoh :
Energi dissosiasi ikatan (Bond Dissociation  Energies = D): energi ikatan suatu molekulEnergies = D): energi ikatan suatu molekul tertentu → tergantung struktur molekulnya.

3. Keasaman Molekul-Molekul Organik

1. Teori Brønsted−Lowry
Asam : donor proton (ion H+)
Basa : akseptor proton
Asam kuat:  kecenderungan memberikan protonnya tinggi.
Basa kuat: kecenderungan menerima proton tinggi.
Kekuatan asam‐basa →  Ka (=tetapan keasaman = tetapan ionisasi asam).
Asam kuat (basa lemah): nilai Ka besar
Asam lemah (basa kuat): nilai Ka kecil

Basa konjugasi suatu asam kuat adalah suatu basa lemah, dan basa konjugasi suatu asam lemah adalah suatu basa kuatlemah adalah suatu basa kuat. 
Dalam satu golongan, keasaman meningkat dari atas ke bawah. Contoh :
→ efektivitas overlap antara orbital 1s pada H  dengan orbital unsur makin berkurang dengandengan orbital unsur makin berkurang dengan makin besarnya ukuran unsur
→ efektivitas overlap makin rendah, ikatan makin lemah

Dalam satu periode, keasaman meningkat dari kiri ke kanan. Contoh: 

H−C < H−N < H−O < H−F 

→ elektronegativitas unsur meningkat dari kiri elektronegativitas unsur meningkat dari kiri
ke kanan. Senyawa netral kurang bersifat asam dibandingkan senyawa yang serupa tetapi bermuatan. 

Meningkatnya karakter s pada orbital hybrid → tingkat energi makin rendah → elektron makin tingkat energi makin rendah → elektron makin  dekat dengan inti → atom makin bersifat elektronegatif

• Efek induktif 
Contoh:

CH3CH3 dan CH3CH2F

Kemudahan lepas: H < H < H
karena ikatan CC nonpolar; ikatan C – C polar  C (berikatan dengan F)lebih positif daripada

Ikatan C –C polar → efek induktif  Efek induktif makin lemah dengan makin  jauhnya jarak dari substituen (F pada contoh di atas).

4. Gaya-Gaya Intermolekuler

Gaya dipole‐dipole
Gaya tarik menarik antara ujung yang positif dari suatu molekul polar dengan ujung yang  negatif dari molekul polar yang lain negatif dari molekul polar yang lain. Contoh :
Ikatan hidrogen:
gaya dipole‐dipole yang sangat kuat antara  atom H yang terikat pada atom yang sangat elektronegatif dan kecil (F, O, N) dengan pasangan elektron bebas pada atom yang sangat elektronegatif dan kecil yang lain. Contoh :

Gaya van der Waals (gaya London = gaya dispersi
gaya tarik menarik yang timbul sebagai akibat adanya kepolaran sesaat pada senyawa ‐ senyawa non polar.
→ polarizability makin besar, gaya van derpolarizability makin besar, gaya van der Waals makin besar.

Atom yang ukurannya lebih kecil, polarizabiltynya lebih rendah karena elektron valensinya lebih dekat ke inti atom. Contoh:

F < Cl < Br < IContoh: F < Cl < Br < I

Atom yang mempunyai pasangan elektron  bebas lebih polarizable dibandingkan yang tidak. Contoh: Halogen substituen > gugus alkil yang ukurannya sebanding.
→ Makin besar luas permukaan molekul,  makin besar gaya van der Waals.


KIMIA ITU ASIK COY
INSYAALLAH BERMANFAAT

MUH. FAJRI RAMADHAN